Sebab akibat hukum perjanjian yang didasari dengan itikad buruk penting dipahami. Prinsip iktikad baik dalam hukum kontrak, yang tercantum dalam Pasal 1338 KUH Perdata, menegaskan bahwa semua persetujuan harus dilaksanakan dengan kejujuran dan tanpa niat buruk.
Penjelasan Terkait Sebab Akibat Hukum Perjanjian yang Didasari dengan Itikad Buruk
Menurut Subekti, iktikad baik berarti seseorang berkepercayaan penuh kepada pihak lawan dalam perjanjian, menganggap mereka jujur dan tidak menyembunyikan sesuatu yang dapat menimbulkan masalah di kemudian hari.
Satrio menambahkan bahwa iktikad baik mengharuskan kedua pihak dalam perjanjian untuk bertindak dengan mempertimbangkan kepantasan dan kepatutan dalam melaksanakan hak dan kewajibannya.
Prinsip ini berlaku tidak hanya saat pelaksanaan perjanjian tetapi juga selama seluruh tahapan kontrak, mulai dari negosiasi hingga penyelesaian. Dalam praktiknya, iktikad baik mencegah tindakan yang merugikan pihak lain dan mempromosikan keadilan dalam interaksi kontraktual.
Itikad Tidak Baik di Tahap Pra Kontrak
Pada tahap pra kontrak, perjanjian belum terbentuk sehingga para pihak belum terikat secara hukum. Oleh karena itu, itikad buruk dalam tahap ini tidak dapat dianggap sebagai wanprestasi.
Namun, jika itikad buruk tersebut menyebabkan kerugian, pihak yang dirugikan dapat mengajukan pemulihan hak berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata tentang perbuatan melanggar hukum, asalkan unsur-unsurnya terpenuhi. Pihak yang dirugikan juga harus membuktikan bahwa kerugian yang dialami merupakan akibat langsung dari tindakan pihak lawan yang tidak beritikad baik.
Itikad Tidak Baik di Tahap Kontraktual
Sebab akibat hukum perjanjian yang didasari dengan itikad buruk berikutnya ialah pada tahap kontraktual. Menurut Pasal 1320 KUH Perdata, empat syarat sahnya perjanjian adalah kesepakatan, kecakapan, suatu hal tertentu, dan sebab yang diperbolehkan.
Kesepakatan dan kecakapan merupakan syarat subjektif, sementara suatu hal tertentu dan sebab yang diperbolehkan adalah syarat objektif. Jika syarat subjektif tidak terpenuhi, perjanjian dapat dibatalkan. Namun, jika syarat objektif tidak terpenuhi, perjanjian batal demi hukum.
Pasal 1338 KUH Perdata menyatakan bahwa perjanjian yang sah mengikat para pihak sebagai undang-undang. Jika ada itikad buruk seperti penipuan, paksaan, atau penyalahgunaan keadaan saat pembentukan perjanjian, maka perjanjian dapat dibatalkan. Pembatalan ini akan mengembalikan para pihak ke posisi semula sebelum perjanjian dibuat.
Itikad Tidak Baik di Tahap Pelaksanaan Kontrak
Pihak yang beriktikad buruk dalam pelaksanaan kontrak dianggap melakukan wanprestasi. Menurut Subekti, wanprestasi dapat berupa:
- Tidak memenuhi prestasi yang dijanjikan.
- Memenuhi prestasi, tetapi tidak sebagaimana mestinya.
- Memenuhi prestasi, tetapi terlambat atau tidak sesuai dengan waktu yang disepakati.
- Melakukan tindakan yang dilarang dalam perjanjian.
Akibat dari wanprestasi ini, berdasarkan Pasal 1267 KUH Perdata, pihak kreditur dapat memilih untuk memaksa debitur memenuhi perjanjian jika masih memungkinkan, atau menuntut pemutusan perjanjian, dengan hak atas penggantian biaya, rugi, dan bunga.
Untuk menjawab pertanyaan Anda berkaitan dengan sebab akibat hukum perjanjian yang didasari dengan itikad buruk, penting untuk mengidentifikasi tahap perjanjian di mana itikad buruk terjadi. Tahapan tersebut akan menentukan akibat hukumnya terhadap perjanjian serta upaya hukum yang dapat ditempuh oleh pihak yang dirugikan. Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.